Setelah Terpuruk, Mampukah Emas Bersinar di “Periode Gelap”?

Jakarta, CNBC Indonesia – Harga emas sedikit membaik pada pekan lalu. Namun harga emas terancam tertekan di tengah “blackout period” sebelum rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada 13-14 Juni mendatang.

Pada perdagangan terakhir pekan lalu, Jumat (2/6/2023) harga emas di pasar spot ditutup di posisi US$ 1.947,63 per troy ons. Harganya ambruk 1,53%. Pelemahan sebesar itu adalah yang tertinggi sejak 16 Mei lalu di mana harga emas terpuruk 1,58% sehari.

Namun, secara keseluruhan, emas menguat tipis 0,07%. Penguatan ini setidaknya mengakhiri rekor buruk emas yang ambruk dalam empat pekan sebelumnya.
Harga emas sedikit membaik pada hari ini. Pada perdagangan Senin (5/6/2023) pukul 06:12 WIB, harga emas berada di US$ 1.946,62 atau menguat 0,1%.

Pada perdagangan terakhir pekan lalu, harga emas ambruk karena data-data tenaga kerja Amerika Serikat (AS) menunjukkan ekonomi pasar tenaga kerja di negara Paman Sam masih panas.

Pasar tenaga kerja yang masih panas ini bisa membuat bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) mempertahankan kebijakan hawkishnya.

Analis FX Street, Anil Panchal, memperkirakan emas masih menghadapi tekanan pada pekan ini.
“Ke depan, emas sepertinya akan menghadapi tantangan karena tidak adanya data atau agenda besar pekan ini yang menggerakkan pasar,” tutur Panchal, dikutip dari FX Street.
Data besar yang ditunggu pasar ini adalah pergerakan aktivitas jasa di AS serta inflasi China.

Pelaku pasar tidak bisa mencari sinyal kebjakan The Fed pekan ini melalui pejabat The Fed karena bank sentral AS tengah menjalani “blackout period”. Artinya, para pejabat The Fed tidak akan memberikan pernyataan apapun sampai pengumuman kebijakan moneter Kamis dini hari pekan depan.

Pekan lalu, harga emas ambruk setelah data non-farm payrolls dan pengangguran AS keluar.

Data non-farm payrolss menunjukkan adanya tambahan lapangan kerja sebanyak 339.000 pada Mei tahun ini. Penambahan tersebut menjadi yang tertinggi sejak empat bulan terakhir dan di atas ekspektasi pasar yakni 190.000. Angkanya juga jauh lebih tinggi dibandingkan pada April yang tercatat 294.000.

Data non-farm payrolls mencatat penambahan lapangan kerja di sektor pertanian, pemerintahan, rumah tangga, dan lembaga-lembaga nonprofit.

Sebaliknya, tingkat pengangguran Amerika Serikat naik menjadi 3,7% pada Mei 2023, naik dari 3,4% pada April. Kendati naik, angka pengangguran AS hanya bertambah pelan dan nyaris stagnan di kisaran 3,7-3,4% sejak Maret tahun lalu.
Padahal, The Fed sudah menaikkan suku bunga sebesar 500 bps sejak Maret 2023. Artinya,

Kenaikan suku bunga belum berdampak banyak kepada tingkat pengangguran. Artinya, data tenaga kerja AS masih panas sehingga dalam jangka pendek, inflasi akan sulit turun ke kisaran 2% seperti keinginan The Fed.
Tingkat partisipasi kerja warga AS juga masih tercatat 62,6% atau level tertinggi sejak Maret 2020.

“Fakta bahwa data tenaga kerja AS bergerak bersebrangan bisa menjadi alasan bagi The Fed untuk tidak mempertimbangkan data tersebut dan mengambil keputusan seperti apa yang direncanakan,” tutur analis Gainesville Coins, Everett Millman, dikutip dari Reuters.

Pasar kini terbelah antara mereka yang memperkirakan kenaikan suku bunga dan mempertahankan suku bunga pada 13-14 Juni mendatang.

“Data tenaga kerja lebih bagus daripada ekspektasi pasar dan tentu saja ini membuat emas melemah,” tutur analis Marex, Edward Meir, dikutip dari Reuters.

Adanya ekspektasi kenaikan suku bunga membuat yield surat utang pemerintah AS melonjak hingga 3,69% kemarin. Yield bergerak ke dalam level tertingginya sejak Maret tahun ini.

Kenaikan yield ini berdampak negatif ke emas karena emas tidak menawarkan imbal hasil seperti surat utang sehingga ditinggal investor.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *